Oleh Pauzan Azima

Dusun Benyer di Desa Telaga Waru, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat miliki sebuah tradisi yang disebut Kebangru’an. Tradisi ini punya makna spiritual tersendiri bagi Masyarakat Adat di Lombok Timur karena dijadikan sebagai media pengobatan.

Berbagai macam tradisi unik bisa dijumpai di dusun ini, salah satunya semua tradisi dilaksanakan di tempat keramat yakni Mata Air Mualan Benyer.

Dusun ini disebut Benyer karena diambil dari kata Nyer-Nyer, yang berarti penuh dengan air. Masyarakat percaya bahwa dusun Benyer sebagai tempat keramat, dimana roh-roh leluhur yang harus dihormati berumah di dusun ini. Dusun ini juga sebagai tempat yang selalu mengingatkan rasa syukur masyarakat terhadap kelimpahan alam yang diberikan Tuhan. Karenanya, semua jenis tradisi akan dilaksanakan di tempat ini, mulai dari Begawe Pernikahan hingga Molang Maliq  (prosesi adat Masyarakat Suku Sasak Lombok Timur ketika anak diberikan nama) dan sebagainya.

Ritus Kebangru'an

Tradisi ritual Kebangru’an yang ada di Dusun Benyer ini sangat unik. Itu pula yang menjadikan ritus ini sebagai media pengobatan tradisional yang dilakukan pada zaman dahulu. Sekarang, ritus ini sudah dijadikan kesenian dan tradisi.

Ritus Kebang’ruan tidak lepas dari musik iringannya. Musik iringannya ini dimainkan dengan alat-alat tradisional Sasak, seperti penting (berupa mendolin), gendang, seruling dan gong. Musik ini nantinya sebagai instrumen dalam proses menghubungkan wadah (orang) dengan roh atau makhluk gaib.

Kebang’ruan adalah bahasa sasak dari “kesurupan” atau dikendalikan. Ritual ini diiringi musik yang disebut Sekaha. Sekaha ini berperan penting dalam ritual ini.

Tokoh adat Dusun Benyer, Amak Nuri mengatakan proses ritual kebang’ruan diawali dengan  pemanggilan roh leluhur dalam upaya untuk mendapatkan informasi pengobatan. Pemanggilan roh leluhur ini diiringi dengan musik Sekaha.

“Dengan musik ini, yang kesurupan akan didatangi oleh Raja Palaq (roh leluhur) kemudian orang yang mengobatinya bisa mengobati pasien,” ungkapnya.

Dalam proses ini, sebutnya, diperlukan sajian untuk mendatangkan roh leluhur. Tidak ditentukan jenis sajiannya, namun biasanya masyarakat menyediakan kembang-kembangan, kelapa, dan daun kelapa yang muda.

“Sajian itu untuk Raja Palaq,” cetusnya.

Amak Nuri menjelaskan dalam prosesinya, yang kebang’ruan (kesurupan) akan melakukan tarian. Tarian ini disebut oleh masyarakat sebagai tarian Kebang’ruan diiringin musik yang dimainkan sakaha.

Sarah, salah seorang penari Kebang’ruan menjelaskan bahwa tarian ini dilakukan sebagai pertanda bahwa roh leluhur yang dipanggil telah masuk ke dalam wadah (orang). Pada situasi ini  biasanya diperoleh informasi bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita pasien.

“Penyakit apapun itu, baik penyakit batin maupun jasmani,” ungkap Sarah.

Ia pun menambahkan biasanya saat proses pengobatan akan diinstruksikan kepada pasiennya untuk pergi ke tempat-tempat yang banyak air atau ke hutan dan semacamnya. Lalu disarankan untuk mandi dan meminum air dari mata air Mualan Benyer.

Prosesi ritual Kebangru'an. Dokumentasi AMAN

Sudut Pandang Psikologi

Ketua Dewan Kesenian Lombok Timur, Ashwan Kailani merespon prosesi ritual ini dengan kacamata akademis dengan memakai perspektif psikologi. Menurutnya, jika diterawang melalui nalar logika, ritual ini melibatkan alam bawah sadar yakni halusinasi.

“Halusinasi adalah ketika imajinasi kita tidak terkontrol. Itu sebabnya terjadi kebang’ruan,” terangnya.

Ashwan menambahkan halusinasi ini berangkat dari pakem ritual yakni meyakini bahwa ritual itu adalah media pengobatan.

“Pengalaman dan keyakinan yang mengobati ikut serta dalam proses ini, sehingga informasi yang didapatkan itu bukan dari makhluk halus itu sendiri, tapi dari memori yang mengobati,” lanjutnya.

Masih dari keterangannya, jika alam bawah sadar tidak terkontrol, maka apa yang tersembunyi dalam diri manusia akan dikeluarkan tanpa ada kontrol dari tubuh dan pikiran.

“Yang bekerja saat itu adalah halusinasi,” imbuhnya.

Ketua Komunitas Adat Batu Rentek, Zainuddin Amin yang juga pengurus PHD AMAN Lombok Timur mengatakan tidak terkontrolnya tindakan dan refleksi monitorik tubuh atasnya bentuk kebang’ruan. Dalam perspektif psikonalisis Sigmund Freud, sebut Zainuddin, ritual pengobatan seperti ritus kebangru’an dapat diinterpretasikan sebagai manigestasi dari konflik internal dan menaisme pertahanan dalam pikiran individu.

“Freud akan melihat kebangru’an atau kesurupan yang dialami oleh yang mengobati sebagai bentuk pertahanan diri yang digunakan untuk mengatasi ketegangan emosional atau konflik alam bawah sadar yang mungkin dialaminya,” tuturnya.

Menurutnya, hal tersebut bisa juga dilihat dari ketakutan akan suatu objek dalam kegelapan. Misalnya, di seberang sana gelap dan ada karung putih, atas ketidaktahuan terhadap objek (karung putih) di dalam sana, halusinasi terbentuk atas bentuk karung dalam kegelapan itu, sehingga hal yang bisa dibayangkan adalah citra yang menjadi motif dari rasa takut itu.

“Nah, rasa takut itu berangkat dari tidak terkontrolnya atas alam bawah sadar kita terhadap ketidaktahuan terhadap objek yang ada di kegelapan itu. Hal ini lah yang disebut ketegangan emosional atau konflik alam bawah sadar itu,” lanjutnya.

Dalam konteks ritus Kebang’ruan di Desa Talaga Waru, Zainuddin Amin menjelaskan kesurupan dianggap sebagai mekanisme yang memungkinkan pengobat atau yang mengobati untuk mengakses informasi yang tersembunyi dalam pikiran bawah sadarnya melalui interaksi dengan roh leluhur.

Dikatakannya, konsep roh leluhur yang dipercayai memberikan bimbingan dalam pengobatan juga dapat dilihat sebagai representasi dari kebutuhan individu untuk mencari sumber otoritas atau panduan eksternal dalam mengatasi konflik internal atau ketidakpastian.

“Freud akan menafsirkan interaksi dengan roh leluhur sebagai proyeksi dari aspek-aspek tertentu dari pikiran dan emosi individu yang mungkin tidak disadari secara sadar,” jelasnya.

Dipentaskan di Acara Tradisi Seni Menduli Selayar

Pada 1 Juni 2024, Perkumpulan Seni Menduli Selayar menggelar Pentas Seni Tradisi dan Pameran Produk Lokal di Kawasan Mata Air Mualan Benyer.

Beragam seni tradisi khas Desa Telaga Waru ditampilkan dalam acara tersebut, salah satunya Ritual Kebang’ruan. Ritus ini diinovasi oleh Perkumpulan Seni Menduli Selayar tidak hanya sebagai ritual sakral, tetapi bertransformasi menjadi bentuk kesenian.

Yoga Anggana, selaku konseptor acara berpandangan bahwa ritus Kebangru’an itu memiliki makna tersendiri bagi Masyarakat  Adat Desa Telaga Waru, khususnya Masyarakat Adat di Dusun Benyer. Baginya, ada banyak makna nilai serta kearifan yang terkandung di dalamnya.

“Ritual ini ekspresi budaya masyarakat terkait keyakinan spiritual mereka, hubungan sosial mereka terhubung dengan alam (Mata Air Mualan Benyer),” jelasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Lombok, Nusa Tenggara Barat